Senin, 19 Oktober 2009

Tugas kelompok studi kasus etika bisnis

X Vs. Y :
Pertempuran Tiada Akhir


Perseteruan antara dua produsen kacang kulit dari Pati ini masih berlanjut, bahkan makin panas. Gelanggang pertempuran beralih ke medan distribusi. Bagaimana jurus masing-masing menangkis serangan?

“Kelinci dilarang masuk. Jangankan satu, apalagi dua.” Stiker berukuran tak lebih dari 10 x 10 cm yang bergambar muka kelinci dengan coretan menyilang itu, beberapa bulan terakhir ini marak menghiasi toko-toko ritel dan grosir makanan ringan di berbagai daerah. “Mungkin mereka niatnya mau membuat kami panas, tapi kami tidak mau merespons tindakan yang menurut kami justru malah memperburuk reputasi mereka sendiri,” ungkap Hawe Wijono, General Manager Penjualan & Pemasaran PT Y, menyoal beredarnya stiker itu.

Terlalu naif memang kalau konsumen tidak paham maksud yang sedemikian telanjang dan terang benderang dari kalimat pada stiker tersebut. Inilah babak lanjutan perang antara PT Y, produsen kacang kulit garing Y, dan PT X, produsen Kacang X.

Pertarungan dua produsen kacang kulit di lini distribusi ini boleh dibilang sebagai babak baru perang yang mulai berkobar tahun 2001. Di gelanggang distribusi, perseteruan Y dengan X boleh dibilang makin sengit. Tak hanya stiker tersebut, menurut pengakuan Hawe, pihaknya juga mendapat informasi dari distributor bahwa produk Y dirusak dengan tusukan jarum supaya melempem saat masuk ke pasar ritel. “Saya sempat berpikir kok sejauh itu perlakuan mereka (X – Red.) kepada kami,” tuturnya. Kondisi persaingan di tingkat distribusi ini menurutnya sudah memosisikan pihaknya sebagai orang yang tertindas. “Menjadi orang teraniaya itu lama-kelamaan sakit lo,” Hawe menambahkan.

Menurut Dian Astriana, Manajer Komunikasi Korporat PT X, stiker itu dibuat untuk kalangan internal, dan ditempelkan di kantor-kantor distribusi sampai ke depo-depo. Ini, lanjut Dian, bertujuan memotivasi para wiraniaga (salesman) X agar jangan sampai lengah, selalu waspada dan terus menanamkan fighting spirit di benak mereka. Persoalannya, bagaimana stiker itu bisa sampai tertempel di toko dan grosir? “Itu nggak benar, kalau memang ada tolong dibuktikan,” jawab Dian.

Mengenai tuduhan merusak produk, X membantah keras. “Itu tuduhan yang sangat kasar. Pengrusakan produk merupakan tindakan kriminal, kenapa tidak dilaporkan saja ke pihak berwajib?” jelas Dian. Lagi pula, lanjut Dian, bagaimana bisa orang merusak sebuah produk yang dipajang di rak toko atau supermaket, sementara di sana juga ada petugas keamanan? “Mustahil kami mengorbankan upaya membangun citra dengan tindakan yang tidak terpuji,” lanjutnya seraya menambahkan bahwa kacang X hanya merupakan salah satu dari sekian banyak brand yang dimiliki X.

Perang antara dua musuh bebuyutan itu sejatinya sudah dimulai pada 2001. Ketika itu medan yang dipakai adalah layar kaca. Kacang X meluncurkan iklan burung besar yang menukik menyambar kacang di bawah yang terlihat ada kelincinya. Tak mau ketinggalan, Y pun membalas dengan lemparan kacang ke atas yang mengenai burung. Metafora burung dan kelinci yang dipakai itu sangat gamblang menjelaskan bagaimana kedua pemain ini saling berebut awareness konsumen. Puncaknya, saat Dua Kelinci melancarkan komunikasi bebas kolesterol pada kemasannya yang gencar diiklankan di berbagai media cetak dan televisi. Komunikasi nonkolesterol itu sendiri bagaikan senjata makan tuan. Langkah Y itu menuai protes tak hanya dari produsen kacang kulit, tapi juga Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Buntutnya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan menegurnya, bahkan sempat menarik Y dari pasar.

Genderang perang telanjur ditabuh. Belakangan, setelah intensitas perang iklan mulai kendur, lini distribusi yang mulai digempur. Menurut Yadi Budisetiawan, Direktur Pengelola Force One, perang di lini komunikasi memang sudah berkurang, tetapi bukan berarti bendera putih berkibar di antara dua kubu itu. “Pertarungannya masih sengit. Kedua belah pihak masih mengintroduksi produk-produk dan varian-varian baru,” katanya. Ia menilai sebenarnya persaingan di industri kacang garing ini sudah terjadi di lini para petani pemasok kacang. “Masing-masing produsen mengambil hati petani dengan kerja sama mengijonkan,” ungkap Yadi.

Ia menuturkan, X mengambil cara yang berbeda. Perusahaan ini membangun usaha agronomi melalui anak perusahaannya, PT Bumi Tani Makmur, dengan mengembangkan petani plasma. “Ini merupakan langkah cerdik X,” katanya. Adapun Y mengijonkan pendanaannya kepada para petani dengan memberi modal uang untuk membeli bibit.

Di tengah perang yang masih berlangsung dan entah kapan berakhir, diakui Hawe, pihaknya mencoba menahan diri dengan tidak frontal menyerang. “Kami tidak pernah menganggap Garuda sebagai kompetitor, ini yang menjadi benteng pertahanan kami,” ungkapnya. Menurutnya, ancaman terbesar bagi Y bukanlah kompetitor, melainkan kesiapan dan waktu. “Untuk mencapai target kan diperlukan kesiapan dan waktu,” katanya. Untuk itu, pihaknya lebih fokus membenahi berbagai lini. Misalnya, mencari bahan yang berkualitas, sumber daya, teknologi dan pendekatan ke distributor.

Diungkapkannya, angka penjualan Y tahun 2005 naik lima kali lipat dari 2001. “Saya optimistis, tahun ini angka penjualan diprediksi naik dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya,” katanya. Optimisme itu menurutnya didukung juga dengan amunisi yang dimiliki Y. “Kami memiliki 18 manajer yang memiliki kaki tangan yang banyak plus distributor,” katanya. Y didistribusikan oleh 83 distributor di wilayah Indonesia Barat dan 62 distributor di Indonesia Timur.

Untuk menghadang laju lawan, X, seperti dituturkan Leony Hartono, Manajer Merek Divisi Kacang Grup X, tetap fokus pada identitas merek yang kuat untuk tiap kategori produk. Selain itu, pihaknya juga terus menggali inovasi untuk meluncurkan produk-produk baru yang benar-benar memberikan nilai tambah kepada konsumen. “Dengan begitu, Kacang X dapat merebut pasar secara tidak langsung,” ungkap Leony. Saat ini Kacang X mampu mempertahankan posisi sebagai pemimpin pasar. “Tahun 2005 Kacang X tumbuh 24%,” ujarnya. Untuk mempertahankan pangsa pasar, pihaknya melakukan pendekatan komunikasi dengan mengemas komunikasi yang fokus pada identitas merek dan nilai tambah untuk konsumen. “Kami terus mengedukasi konsumen untuk memperbesar market size.”

Menurut Leony, Kacang X mampu mempertahankan posisi sebagai pemimpin pasar karena memiliki amunisi ekuitas merek, kreativitas, bujet komunikasi pemasaran dan jaringan distribusi. Data Frontier 2004 menyebutkan, Kacang X menguasai pasar 81,4% dan Dua Kelinci 12,4%. Survei Corinthian Infopharma Corpora pada 2005 menunjukkan, pasar kacang di pasar dalam negeri ditengarai mencapai Rp 75-100 miliar per bulan atau Rp 900 miliar-1,2 triliun per tahun.

2 komentar:

  1. Strategi komunikasi Dwi Kelinci, menurut saya, sejauh ini tidak terlalu mengganggu Garudafood. Mungkin kalau dianalogikan, Garudafood seperti terkena gigitan semut. Memang, dulu omset Kacang Garuda sempat turun selama 2-3 bulan setelah Dua Kelinci bermanuver dengan iklan bebas kolesterolnya. Garudafood memang melempar jurus balasan, toh akhirnya produsen kacang garing ini berusaha mengalihkan isu dengan fokus kembali pada generasi baru, segmen anak-anak. Maka, dibuatlah iklan produk kacang yang disegmentasikan untuk anak-anak. Ini merupakan salah satu cara meredam isu tersebut.

    BalasHapus
  2. Saya menilai Dwi Kelinci cukup cerdik mengemas komunikasinya. Hanya saja, mereka tidak memiliki banyak item seperti Garudafood yang kini memiliki 84 item produk. Selain itu, Garudafood juga memiliki logistik yang cukup baik dan produk yang dikemas kecil-kecil seharga Rp 300-500. Adapun produk Dwi Kelinci belum punya varian dengan kemasan kecil.

    BalasHapus